Magnet Kakbah dan Putra-putra Ismail yang Terusir


Pada mulanya, Mekah bukan siapa-siapa. Dia cuma lembah kering nan tandus. Tak ada yang mampu menarik hati para pejalan untuk singgah, selain terpaksa berhenti lantaran lelah.

Mekah, baru mendapatkan pesonanya ketika Siti Hajar dan putranya, Ismail, dikaruniai aliran Zamzam. Sebab, air bagi orang di tengah gurun jauh lebih menggiurkan dibanding berlian.


Berdatangan

Bukan hanya kehadiran Zamzam yang memikat perhatian. Tentu, pembangunan Kakbah yang dilakukan Nabi Ibrahim as. dan Nabi Ismail as. lah yang pada akhirnya menyulap Mekah menjadi kota penting secara agama, politik, ekonomi, dan budaya.


Guru Besar Sejarah Islam di 'Ain Shams University, Kairo, Mesir, Ali Husni Al Kharbuthli, dalam Tarikh Ka'bah (2004) menuliskan, suku pertama yang bersikeras turut tinggal di Mekah bersama keluarga Nabi Ibrahim as. adalah kabilah Jurhum.

"Kabilah Jurhum yang sering melewati lembah itu datang dan meminta izin kepada Hajar untuk tinggal bersama. Siti Hajar pun mengizinkan," tulis Ali.
Setelah inisiatif tinggal di Mekah dimulai Jurhum, barulah banyak suku kecil lainnya datang menyusul.

Mengalah

Selepas Nabi Ibrahim wafat dan Ismail dewasa, pemeliharaan Kakbah dan kota Mekah makin serius dilakukan. Nabi Ismail pun memperistri putri dari pemimpin Jurhum, Madhadh ibn Amru. Dengan hubungan baru itu, tanggung jawab Ismail untuk mengurus Kakbah kian merasa terbantu.

Imam ath Thabari dalam kitabnya, Tarikh al Umam wa al Muluk menceritakan, pernikahan Nabi Ismail dengan anak dari elite Jurhum itu dikaruniai 12 anak. Mereka adalah Nabit, Qidar, Adbil, Mubsim, Musymi', Dauma, Dawam, Masa, Haddad, Tsitsa, Yathur, dan Nafisy.

Pada usia 137 tahun, Nabi Ismail wafat. Estafet kepemimpinan dan tanggung jawab pemeliharaan Kakbah dan Mekah diserahkan kepada putra pertamanya, Nabit. Sayangnya, kondisi itu tak diharapkan sebagian petinggi Jurhum, hingga kekuasaan itu pun direbut dengan tanpa perlawanan.




Kebesaran hati putra-putra Ismail ini digambarkan Ibn Hisyam dalam as Sirah an Nabawiyah;

"Allah swt. menyebarkan anak-anak Ismail di Mekah. Tapi, saudara mereka dari suku Jurhum lah yang menguasai Baitullah. Anak-anak Nabi Ismail tidak ingin menentang saudara-saudaranya yang sudah pasti akan meretakkan kekerabatan mereka. Selain itu, mereka juga menghormati kemerdekaan dan sikap penolakan terhadap peperangan," tulis Ibn Hisyam.

Meski begitu, rasa tak nyaman tetap menjalar di benak putra-putra Nabi Ismail. Mereka memutuskan untuk pindah dan berpencar ke daerah lain. Beruntung, tidak ada satu pun kaum yang menolak. Semua tempat menerima dan tunduk pada keagungan nama Ibrahim.

Meraup kekayaan

Abu al Hasan Ali ibn al Husayn ibn Ali al Mas'udi, dalam Muruj adz Dzahab wa Ma'adin al Jauharmengisahkan, di bawah kekuasaan Jurhum, para kabilah maupun jemaah haji yang berkepentingan dengan Mekah dikenai pungutan.


"Jurhum yang kepemimpinannya sudah di tangan al Harits ibn Madhadh membuat kebijakan membangun pos-pos penjagaan di pinggiran Mekah, tepatnya, di Qina'an. Setiap orang yang masuk ke Mekah dengan tujuan berdagang, mereka dikenakan pajak 10% dari total barang niaga yang dibawa," tulis al Mas'udi.

Akibat kebijakan Jurhum, maka banyak suku lain di dekat Mekah yang turut memberlakukan aturan serupa. Terutama suku Amaliq. 




"Lalu pecahlah perang antara kedua suku itu. Amaliq memenangkannya, meskipun kemudian suku Jurhum berhasil merebut kembali kekuasaan tanpa hambatan hingga bertahan selama 300 tahun kemudian," tulis al Mas'udi, masih dalam kitab yang sama.

Para tamu Allah swt banyak yang mengeluh. Setelah keluar dari Mekah, mereka berusaha menemui putra-putra Ismail dan mengadukan kesewenang-wenangan Jurhum.

Mendengar itu, keturunan Ismail kembali menyatukan kekuatan hingga akhirnya mampu mengusir Jurhum dari Kota Mekah. 

"Suku Jurhum menyingkir dan terdesak di wilayah Juhainah. Tapi, pada suatu malam, bencana banjir datang dan menghanyutkan mereka," tulis al Mas'udi.



(SBH)

Posting Komentar

0 Komentar