Julukan 'Gubernur Judi' dan 'Gubernur Maksiat' pernah disematkan kepada Gubernur DKI Jakarta Ali Sadikin di era 1970-an. Hal ini terkait kebijakannya yang melegalkan perjudian dan lokalisasi pelacuran di Kramat Tunggak, Jakarta Utara. Tapi tak banyak yang peduli betapa Bang Ali, begitu sapaan popular sang gubernur, begitu berjasa dalam menata manajemen haji di tanah air.

Alkisah, di pengujung 1974 atas bujukan isterinya, Nani Sadikin, Bang Ali berkenan menunaikan rukun Islam kelima. Meski merupakan urusan pribadi, ia tak menyia-nyiakannya untuk mengaitkannya dengan posisi dirinya sebagai gubernur. Bukan soal fasilitas, tapi pembelajaran dari lapangan betapa manajemen pelayanan terhadap para jemaah harus dikelola dengan lebih profesional.
"Saya dan keluarga sih pelayanan serba beres dan menyenangkan karena menjadi tamu pangeran di Saudi," kata Ali dalam biografi bertajuk Ali Sadikin Membenahi Jakarta Menjadi Kota Manusiawi karya Ramadhan KH. "Tapi bagaimana dengan para Jemaah kebanyakan?," ia membatin.

Sejak masuk karantina hingga tiba di Mekkah, Medinah, Arafah hati Ali miris melihat pelayanan yang diterima para jemaah. Mereka menggeletak di kamar sempit, pengap, kurang air, tempat buang hajat bersifat darurat, dan jauh dari masjid. Belum lagi berbagai aksi tipu yang menimpa sebagian dari jemaah. "Saya ngenas melihat mereka, sedih. Saya tak akan tinggal diam."


Ali juga tak habis pikir bagaimana mungkin orang jompo, sakit, wanita hamil bisa lolos pemeriksaan petugas kesehatan. Mereka seharusnya disehatkan dahulu dan tidak dipaksakan berangkat. "Di mana-mana ada penyelewengan, ada saja amplop di bawah meja rupanya," Ali mengeluh.

Begitu tiba kembali di tanah air, ia cuma beristirahat sehari. Sejumlah staf terkait dipanggilnya ke rumah dinas untuk diberikan briefing mengenai berbagai hal yang perlu dibenahi dalam manajemen haji. Salah seorang diantaranya Andi Mappetahang (AM) Fatwa, staf ahli bidang kerohanian Pemda DKI.

"Latar Bang Ali kan seorang militer. Dia ingin seluruh rombongan haji dibagi kedalam batalion, kompi, dan pleton agar mudah mengorganisirnya. Ini yang kemudian kita kenal sebagai Kloter (kelompok terbang)," papar AM Fatwa kepada Detikcom di Gedung DPD beberapa waktu lalu.

Untuk membahas berbagai ide perbaikan pelayanan haji yang dikehendaki Bang Ali, dia diminta membuat makalah untuk disampaikan dalam Lokakarya Perbaikan Pemberangkatan Haji pada 1975. Hasilnya diserahkan kepada Dirjen Urusan Haji Burhan Cokro Handoko. Menteri Agama Mukti Ali langsung menyetujui berbagai usul perbaikan untuk diberlakukan secara nasional.

"Inilah cikal bakal pembentukan kloter dan Indonesia yang pertama kali memberlakukannya dalam pemberangkatan haji," jelasnya.
Sebelum lokakarya, Bang Ali berdialog dengan sekitar 50 tokoh masyarakat seperti KH Abdullah Syafi'I, Lukman Harun, RM Kafrawi, Yusuf Hasyim, Asa Bafagih, Yunan Helmy Nasution, dan M. Natsir.

Para tokoh semuanya sepakat, mengelola perjalanan haji pada prinsipnya adalah memberikan pelayanan sebaik mungkin kepada para Jemaah. "Tidak boleh dijadikan proyek untuk mencari keuntungan."

Khusus untuk para petugas haji yang akan mendampingi Jemaah selama di Arab Saudi, Bang Ali menekankan pentingnya dipilih yang masih muda dan kuat secara fisik maupun mentalnya, serta menguasai Bahasa Arab. "Kalau sudah pada tua ya bagaimana mereka mengurus orang lain, mengurus diri sendiri saja susah," tandasnya. (ayo/jat)

DETIK

Baca juga: